Sudah lebih dari tiga dekade, Indonesia seperti naik tangga ekonomi tapi berhenti di tengah. Dari…
Paradoks Pertumbuhan: Mengapa Ekonomi Indonesia Tumbuh Tanpa Kesejahteraan yang Merata?

potret perkampungan kumuh ditengah gedung tinggi jakarta
Selama dua dekade terakhir, Indonesia sering dibanggakan sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dengan Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh rata-rata 5% per tahun, bahkan mampu bertahan di tengah krisis global dan pandemi. Namun, di balik capaian tersebut, muncul paradoks besar: pertumbuhan yang tinggi tidak otomatis membawa kesejahteraan yang merata. Ketimpangan pendapatan, kemiskinan struktural, dan kesenjangan antarwilayah masih menjadi wajah nyata pembangunan Indonesia. apakah pertumbuhan yang kita nikmati benar-benar mencerminkan pembangunan ekonomi yang sejati? Ataukah kita sedang mengalami pembangunan tanpa transformasi?
Dalam teori pembangunan ekonomi modern, pertumbuhan hanyalah salah satu dimensi dari pembangunan. Seperti dikemukakan (Todaro, M. P., & Smith, 2020), pembangunan sejati mencakup peningkatan kesejahteraan manusia, pemerataan kesempatan, serta perubahan struktural yang mendorong produktivitas dan kemandirian. Pertumbuhan tanpa peningkatan kualitas hidup dan pemerataan hasil hanyalah “angka tanpa makna”.
Kenyataannya, struktur ekonomi Indonesia masih bertumpu pada konsumsi dan ekspor komoditas mentah. Sektor manufaktur yang seharusnya menjadi motor industrialisasi justru mengalami penurunan kontribusi terhadap PDB dari 22% pada awal 2000-an menjadi sekitar 18% pada 2023 (BPS, 2024). Sementara itu, lebih dari separuh tenaga kerja masih berada di sektor informal dengan produktivitas rendah. Artinya, ekonomi tumbuh, tetapi tidak membangun fondasi yang kokoh untuk kesejahteraan jangka panjang.
Pembangunan di Indonesia juga dihadapkan pada ketimpangan yang membandel. Gini ratio stagnan di angka 0,39 selama kurang lebih delapan tahun terakhir, menandakan jurang kesejahteraan yang belum menyempit. Pembangunan infrastruktur memang massif, tetapi sebgaian besar masih terpusat di Pulau Jawa dan wilayah perkotaan saja. Akibatnya, Kawasan timur Indonesia tertinggal, baik dari sisi produktivitas maupun akses layanan publik
Hal ini menunjukkan bahwa paradigma pembangunan Indonesia masih bersifat sentralistik dan berorientasi pada pertumbuhan agregat, bukan pada pemerataan ekonomi. Dengan kata lain, Pembangunan yang kita jalankan lebih banyak membangun gedung dan jalan daripada membangun manusia dan produktivitasnya.
Jika Indonesia ingin keluar dari paradoks pertumbuhan tanpa pemerataan, arah pembangunan harus diubah dari “kuantittas Pembangunan” menjadi “kualitas pembangunan” dengan tiga agenda yang perlu diperkuat.
Pertama, mempercepat transformasi struktural melalui pengembangan industri bernilai tambah dan inovasi teknologi. Hilirisasi tidak boleh berhenti pada pengolahan bahan mentah, tetapi harus mendorong industrial upgrading dan penciptaan rantai nilai domestik yang berkelanjutan.
Kedua, mempercepat transformasi struktural melalui pengembangan antar wilayah. Desentralisasi ekonomi perlu diimbangi dengan penguatan kapasitas pemerintah daerah, agar pembangunan tidak bergantung pada transfer fiskal, tetapi mampu mendorong pertumbuhan lokal berbasis potensi daerah.
Ketiga, menempatkan manusia sebagai pusat Pembangunan (people centered development). Peningkatan kualitas pendidikan, keterampilan, dan kesehatan menjadi kunci agar tenaga kerja Indonesia siap menghadapi ekonomi digital dan global yang semakin kompetitif.
Visi Indonesia Emas 2045 hanya dapat diwujudkan jika pembangunan ekonomi diarahkan untuk mentransformasi struktur dan kualitas ekonomi, bukan sekedar memperbesar angka PDB. Kita membutuhkan pembangunan yang inklusif, produktif, dan berkeadilan pembangunan yang mensejahterakan seluruh rakyat, bukan hanya sebagian saja.
Pembangunan ekonomi sejati bukan tentang seberapa cepat kita tumbuh, tetapi seberapa dalam kita berubah. Indonesia harus berani keluar dari jebakan pembangunan yang seremonial manuju pembangunan yang struktural, yang mengubah wajah ekonomi dari konsumsi menjadi produksi, dari ketimpangan menuju pemerataan, dari angka menjadi makna
Ditulis Oleh : Maya Heryani – Ekonomi Pembangunan
Universitas Muhammadiyah Malang
